Sabtu, 09 Maret 2013

keajaiban otak kanan. bram

sekarang adalah jaman dimana para pengguna otak kanan yg berkuasa, dan berhati2 lah wahai pengguna otak kiri. maksudnya adalah para pengguna otak kiri adalah biasa dikenal dengan para pekerja pengetahuan. itulah orang2 yg biasanya menjadi pengacara, pegawai bank dll. sekarang orang2 yang yg memiliki intuisi adalah orang2 yang dapat memiliki gaji lebih tinggi pertahunnya.
para pengguna otak kanan merupakan kumpulan masyarakat pencipta dan pemberi simpati, pengidentikasi pola dan pembuat makna. satu pertanyaan yg mendasar adalah apakah seorang pemimpin dinilai karena pengetahuannya atau karena intuisinya sehingga perusahaannya dapat maju dan berkembang. para pengguna otak kiri biasanya kurang memiliki hubungan yang baik dengan para karyawannya. para pengggu otak kanan memiliki yang namanya HIGH TOUCH dan HIGH CONCEPT, maksudnya adalah para penggua otak kanan memiliki kelebihan sebagai berikut, yaitu : dapat memunculkan ide2 baru, pendeteksi pola dan peluang, menggabungkan ide2 atau pengetahuan menjadi satu kesatuan, mempunyai indeks simpati atau dalam bahasa sederhana para beliau ini mempunyai rasa kesenangan ketika dapat menyenangi orang lain. suatu hal aneh atau lluar biasa?? menurut saya sebagai penulis itu sangat lah luar.
para pengguna dominan otak kanan memiliki tingkat imajjinasi yg tinggi dibandingkan pengguna dominan otak kiri. hal inilah yg membedakannya. intuisi dan logika?? mana yg lebih penting, itu akan berbeda jawabannya tergantung pada setiap orang yg mengartikannya. para pengguna otak kanan memilikki keterampilan sosial yg juga tingggi,, ia mampu melahirkan banyak hubungan baik dengan semua orang. dan yg paling membanggakan adalah seorang pemimpin sangatlah  dinilai dari bagaimana ia berketerampilan baik terhadap bawahannya.
bagi yg telah menyadari ia adalah seorang pengguna otak kanan ,,, maka otomatis yg akan terjadi adalah ia akan mendapatkan kesadaran diri yg tajam dan realistis, kapasitas emosi yg meningkat tentunya menjadikannya menjadi orang yg lebih penyabar, dan meningkatnya rasa keterhubungan.
membatasi seseorang hanya pada jawaban2 yg telah disajikan tanpa memberikan pilihan2 agar ia dapat lebih berkembang adalah gejala yg ada pada pemikiran otak kiri yg begitu besar.
disini penulis bukannya ingin mengatakan bahwa pengguna otak kiri itu tidak baik ,, akan tetapi pengguna otak kanan juga memiliki berbagai macam kekurangan, contohnya seseorang yg kurang berprestasi dalam kelas, susah berkonsentrasi pada sesuatu dan lain macamnya.
oleh karena itu,,KESEIMBANGAN DALAM PENGGUNAAN OTAK KIRI MAUPUN KANAN ADALAH BAGIAN YG PALING PENTING.

Kamis, 07 Maret 2013

manfaat kulit singkong RINGKASAN. bram



RINGKASAN

Sebagai tanaman pangan, ubi-ubian masih tergolong kelompok yang paling kurang mendapat perhatian atau penghargaan masyarakat dibanding dengan padi-padian dan kacang-kacangan. Pemanfaatan singkong seringkali menghasilkan sampah yang memenuhi bahkan mencemari lingkungan. Permasalahan sampah yang harus dilaksanakan secara terpadu. Teknologi pengolahan sampah kota secara terpadu menekankan pada pemecahan masalah sampah perkotaan dengan melihat sampah sebagai sumberdaya. Sal;ah satu pengolahan limbah singkong adalah dengan menmanfaatkan kulit singkong yang biasanya terbuang percuma menjadi suatu produk yang bernilai ekonomi dan memiliki nilai tambah.
Kulit singkong dapat dijadikan cemilan keripik berbagai macam rasa dan dibuat secara higienis. Dikarenakan kulit singkong memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi yang dapat dikonsumsi pula oleh manusia. Presentase jumlah limbah kulit bagian luar sebesar 0,5-2% dari berat total singkong segar dan limbah kulit bagian dalam sebesar 8-15%. Sampah kulit singkong termasuk dalam kategori sampah organik karena sampah ini dapat terdegradasi (membusuk / hancur ) secara alami.
Kulit singkong dapat dijadikan sebagai pakan alternatif ternak kambing dan domba dikarenakan kulit singkong yang berpotensi sebagai pakan ternak mengandung asam sianida. Konsentrasi glukosida sianogenik di kulit umbi bisa 5 sampai 10 kali lebih besar dari pada umbinya. Sifat racun pada biomass ketela pohon (termasuk kulitnya umbinya) terjadi akibat terbebasnya HCN dari glukosida sianogenik yang dikandungnya. Total kandungan sianida pada kulit singkong berkisar antara 150 sampai 360 mg HCN per kg berat segar. Namun kandungan sianida ini sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh varietas tanaman singkongnya. Dilaporkan bahwa ternak domba mampu mentoleransi asam sianida pada konsentrasi 2,5 – 4,5 ppm per kg bobot hidup. Sedangkan TWEYONGYERE dan KATONGOLE (2002), melaporkan bahwa konsentrasi asam sianida yang aman dari pengaruh toksik adalah dibawah 30 ppm. Hasil analisa kandungan HCN pada kulit singkong yang diambil dari Desa Cipambuan dan Bojongkembar adalah 459,56 ppm. Tingginya kandungan asam sianida dalam kulit singkong ini dapat menimbulkan keracunan jika dikonsumsi oleh ternak (domba/kambing).
Kulit ubi kayu/singkong sering dianggap remeh dan menjadi limbah rumah tangga padahal ada banyak manfaat yang didapat dari kulit singkong.Meningkatnya pembangunan fisik menyebabkan kebutuhan bahan bangunan juga makin meningkat.Salah satu bahan bangunan yang sering digunakan adalah paving block. Paving block digunakan untuk berbagai macam keperluan seperti tempat parkir mobil di pertokoan, maupun sebagai perkerasan jalan pada komplek-komplek perumahan.Melihat permasalahan yang ada muncul ide untuk memanfatkan sampah kulit singkong sebagai paving block sebagai upaya mengurangi timbulan sampah.
Bahwa  Singkong merupakan umbi akar yang dimana kulit nya mempunyai fungsi sebagai bahan untuk kompos yang selama ini masyarakat telah menganggapnya sebagai limbah yang di mana tidak mempunyai nilai fungsi. Dalam hal ini menurut penelitian (Ankabi,2007) kompos kulit singkong bermanfaat sebagai sumber nutrisi bagi tumbuhan yang berpotensi sebagai insektisida tumbuhan tanaman. Kulit singkong memiliki kandungan  yang di butuhkan tanaman diantaranya yaitu sebagai berikut:
Kandungan
C
H
O
N
S
H2O
persentase
59,31
9,78
28,74
2,06
0,11
11,4
Pada table di atas di dapat kandungan C di dapat59,31% yangberarti terdapat carbon yang tinggi pada kulit singkong, pada H di dapat 9,78%, O(28,74%) , N dengan kandungan 2,06 % , S dengan kandungan 0,11% dan H2O dengan kanndungan 11,4%.
 Limbah kulit singkong dapat dimanfaatkan sebagai bahan yang mampu mengurangi kadar logam berat berbahaya. Logam-logam yang dapat diserap seperti timbal (Pb (II)), tembaga (Cu (II)), dan cadmium (Cd (II)). Disebut logam berat berbahaya karena konsentrasi kecil dapat bersifat racun dan berbahaya. Logam berat berbahaya dari limbah industri diindikasi dapat masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, makanan, dan minuman. Logam timbal tidak dibutuhkan oleh tubuh manusia, sehingga bila mengonsumsi makanan atau minuman yang tercemar oleh logam, dapat mengganggu kesehatan manusia. Bila terkonsumsi, tubuh manusia akan mengeluarkannya zatnya sebagian. Sisanya akan terakumulasi pada bagian tubuh tertentu seperti ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut. Adanya logam Pb dalam peredaran darah dan otak dapat menyebabkan gangguan sintesis hemoglobin darah, gangguan neurolog (susunan saraf), gangguan pada ginjal, sistem reproduksi, penyakit akut atau kronik sistem saraf, dan gangguan fungsi paru-paru. Selain itu, dapat menurunkan IQ pada anak kecil jika terdapat 10-20 miligram/dl dalam darah. Suharso mengatakan, limbah kulit singkong berpotensi mengikat ion logam berat karena mengandung sellulosa non-reduksi. Ia juga memiliki kelebihan lain, selain biaya yang lebih murah, efektif, tidak memiliki efek samping juga bahan yang mudah didapat.  Cara pemanfaatan limbah singkong, diawali dengan membersihkan bagian kulit singkong yang berwarna putih untuk kemudian dihaluskan hingga menyerupai serbuk. Selanjutnya, diaktifiasi (diaktifkan) sebanyak dua kali. Pertama mereaksikannya dengan asam nitrat (HNO3) 0,3 M dengan cara merendamnya selama 24 jam. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan bio molekul terlarut yang mungkin berinteraksi dengan ion logam. Selanjutnya, dicuci dengan air bebas ion sampai diperoleh derajat keasaman (pH) 7,1 dan dikeringkan di udara. Setelah itu, direaksikan kembali dengan asam merkaptoasetat (MAA) 0,5 M atau 1 M. Terakhir, diaduk selama 24 jam pada suhu 30 °C dan keasaman 7,1.
Bioetanol dapat dengan mudah diproduksi dari bahan bergula, berpati dan berserat. Salah satu bahan berpati yang berpotensi untuk pembuatan etanol yaitu singkong, mengingat singkong dapat tumbuh di lahan kritis, mudah ditanam dan masyarakat telah mengenal dengan baik tanaman singkong ini. Pada tahun 2005 Indonesia mampu menghasilkan singkong sebanyak 19.7 juta ton (sumber: BPS, 2006). Dari produk pengolahan singkong yang begitu besar dihasilkan limbah berupa kulit singkong yang biasanya hanya dibuang atau untuk campuran pakan ternak. Kulit singkong merupakan salah satu sumber bioetanol dari bahan berserat. Kulit singkong bisa berpotensi untuk diproduksi menjadi bietanol yang digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak. Adapun kulit singkong merupakan limbah dari tanaman singkong yang memiliki kandungan serat yang dapat digunakan sebagai sumber energi. Persentase jumlah limbah kulit bagian luar (berwarna coklat dan kasar) sebesar 0,5-2% dari berat total singkong segar dan limbah kulit bagian dalam (berwarna putih kemerah-merahan dan halus) sebesar 8-15%. Teknologi pembuatan bioetanol dari limbah kulit singkong melalui proses hidrolisa asam dan enzimatis merupakan suatu alternatif dalam rangka mendukung program pemerintah tentang penyediaan bahan bakar non migas yang terbarukan yaitu BBN ( bahan bakar nabati ) sebagai pengganti bensin, sehingga perlu dilakukan penelitian tentang proses pembuatan bioetanol dari limbah kulit singkong melalui proses hirolisa asam dan enzimatis yang berkualitas baik dan ramah lingkungan.
Karbon Aktif Kulit Singkong sebagai Filter Air.  Dengan pori-pori banyak dan besar, karbon aktif kulit singkong sangat potensial mengenyahkan bau dan warna air yang keruh. Dua siswa SMA Semesta Semarang, Jawa Tengah, berhasil menyulap kulit singkong menjadi karbon aktif. Setelah diuji laboratorium, karbon aktif dari kulit singkong ternyata mampu menyerap 99,98 persen kandungan tembaga air limbah. Bentuk karbon aktif bisanya berupa butiran kristal dan tepung (powder) yang memiliki pori-pori. Fungsi pori-pori itu menyerap zat magnetik serta menjernihkan air dari warna keruh serta menghilangkan bau tak sedap. Maka tidak heran jika karbon aktif juga digunakan sebagai filter dalam pengolahan air minum. Caranya dengan membakar kulit singkong didalam ruang tertutup agar arang sisa pembakaran kulit singkong tidak berubah menjadi debu. Kemudian dilakukan aktivasi karbon dari arang tersebut dengan menggunakan soda kimia. Setelah itu dianalisis karbon aktifnya di bawah AAS (atomic absorption spectrophotometer). Proses aktivasi ini bertujuan untuk meningkatkan volume dan memperbesar diameter pori-pori karbon. Dengan demikian, daya absorpsi (serap) karbon aktif menjadi tinggi terhadap zat warna dan bau pada air. Agar penelitan kulit singkong mereka sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiah, maka dilakukan pengujian karbon aktif dalam laboratorium. Dalam uji laboratorium, mereka menguji 20 mililiter limbah sintetis yang mengandung tembaga dengan dua gram karbon aktif kulit singkong hasil karya mereka. Setelah diuji selama 40 menit, karbon aktif dari kulit singkong itu ternyata mampu menyerap 99,98 persen kandungan tembaga (Cu) pada air limbah.




Sabtu, 02 Maret 2013

laporan lengkap uji pirit gambut. bram



I.                   PENDAHULUAN


1.1.Latar Belakang
Pusat Penelitian Tanah (1990) mengemukakan bahwa tanah gambut atau Organosol adalah tanah yang mempunyai lapisan atau horison H, setebal 50 cm atau lebih atau dapat 60 cm atau lebih bila terdiri dari bahan Sphagnum atau lumut, atau jika berat isinya kurang dari 0,1 g cm-3. Ketebalan horison H dapat kurang dari 50 cm bila terletak diatas batuan padu. Tanah yang mengandung bahan organik tinggi disebut tanah gambut (Wirjodihardjo, 1953) atau Organosol (Dudal dan Soepratohardjo, 1961) atau Histosol (PPT, 1981).
Proses kimia pada tanah sulfat masam atau lahan pasang surut dapat dikelompokkan menjadi dua bagian penting. Pertama, proses kimia yang terjadi dalam keadaan reduktif, antara lain pembentukan pirit, reduksi besi feri menjadi fero, serta reduksi senyawa beracun.Kedua, proses kimia pada kondisi oksidatif, yang terpenting adalah oksidasi pirit. a. Proses Reduksi Dalam proses reduksi selalu memanfaatkan proton, sehingga pH tanah akan meningkat.
Proses kimia penting yang terjadi adalah pembentukan pirit. Pirit (FeS2) adalah mineral berkristal kubus dari senyawa besi-sulfida yang terkumpul di dalam endapan marin kaya bahan organik dan diluapi air mengandung senyawa sulfat (SO4-) dari air laut. Bentuk kristal pirit sangat halus bervariasi dari <> 2 mikron hingga > 100 mikron (Van Dam dan Pons, 1972).
Kandungan pirit dalam endapan marin mencapai 5%, tetapi umumnya 1-4% (Van Breemen, 1972). Pembentukan pirit memerlukan persyaratan tertentu : (1) Lingkungan anaerob : Reduksi sulfat hanya dapat terjadi pada kondisi yang sangat anaerob seperti pada sedimen tergenang dan kaya bahan organik. Dekomposisi bahan organik oleh bakteri anaerob menghasilkan senyawa-senyawa yang bersifat masam sehingga menyebabkan lingkungan bertambah masam (Pons et al., 1982); (2) Sulfat terlarut : Sumber utama sulfat adalah air laut atau air payau pasang; (3) Bahan organik : Oksidasi bahan organik menghasilkan energi yang sangat diperlukan oleh bakteri pereduksi sulfat. Ion sulfat bertindak sebagai sumber elektron bagi respirasi bakteri kemudian direduksi menjadi sulfida. Jumlah sulfida yang terbentuk berkaitan langsung dengan jumlah bahan organik yang dimetabolisme oleh bakteri; (4) Jumlah besi : Tanah dan sedimen mengandung besi oksida dan hidroksida dalam jumlah yang banyak, yang akan tereduksi menjadi Fe2+, yang sangat larut pada pH sekitar normal atau dijerap oleh senyawa organik yang larut; (5) Waktu : Waktu yang diperlukan untuk pembentukan pirit pada kondisi alami masih belum banyak diketahui.
Reaksi antara padatan FeS dan S berjalan sangat lambat, memerlukan waktu bulanan bahkan tahunan untuk menghasilkan sejumlah pirit. Namun demikian, pada kondisi yang sesuai, Fe2+ larut dan ion polisulfida dapat membentuk pirit dalam beberapa hari (Howarth, 1979 dalam Dent, 1986). Pirit adalah zat yang hanya ditemukan di tanah di daerah pasang surut saja. Zat ini dibentuk pada waktu lahan digenangi oleh air laut yang masuk pada musim kemarau. Pada saat kondisi lahan basah atau tergenang, pirit tidak berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, bila terkena udara (teroksidasi), pirit berubah bentuk menjadi zat besi dan zat asam belerang yang dapat meracuni tanaman.
Pirit dapat terkena udara apabila: 1. Tanah pirit diangkat ke permukaan tanah (misalnya pada waktu mengolah tanah, membuat saluran, atau membuat surjan). 2. Permukaan air tanah turun (misalnya pada musim kemarau). Pirit di dalam tanah dapat ditandai dengan: 1. Adanya rumput purun atau rumput bulu babi, menunjukkan ada pirit di dalam tanah yang telah mengalami kekeringan dan menimbulkan zat besi dan asam belerang. 2. Bongkah tanah berbecak kuning jerami ditanggul saluran atau jalan, menunjukkan adanya pirit yang berubah warna menjadi kuning setelah terkena udara. 3. Adanya sisa-sisa kulit atau ranting kayu yang hitam seperti arang dalam tanah. Biasanya di sekitamya ada becak kuning jerami. 4. Tanah berbau busuk (seperti telur yang busuk), maka zat asam belerangnya banyak. Air di tanah tersebut harus dibuang dengan membuat saluran cacing dan diganti dengan air baru dari air hujan atau saluran.
Gejala keracunan zat besi pada tanaman: 1. Daun tanaman menguning jingga 2. Pucuk daun mengering 3. Tanamannya kerdil 4. Hasil tanaman rendah. Ciri-ciri tingginya kadar besi dalam tanah: 1. Tampak gejala keracunan besi pada tanaman 2. Ada lapisan seperti minyak di permukaan air 3. Ada lapisan merah di pinggiran saluran. Belerang menyebabkan air tanah menjadi asam, bahkan lebih asam daripada cuka. Akibat yang ditimbulkan adalah: 1. Tanaman mudah terserang penyakit 2. Hasil panen rendah 3. Tanaman lebih mudah kena keracunan besi. Kedalaman pirit diukur dengan cara berikut ini: a. Gali lubang sedalam 75 cm atau lebih. b. Ambillah gumpalan tanah mulai dari kedalaman 10 cm, 20 cm, 30 cm, dan seterusnya sampai ke bagian bawah. c. Gumpalan tanah tersebut ditandai dan dicatat sesuai dengan asal kedalaman. d. Setiap gumpalan tanah ditetesi air peroksida. Bila keluar buih meledak-ledak menunjukkan adanya pirit dalam tanah tersebut. e. Cara lain dengan menyimpan gumpalan tanah tadi di tempat teduh. Diamati setelah 3 minggu, jika ada becak warna kuning jerami, maka tanah tersebut mengandung pirit. Cara ini diulang sedikitnya di 20 tempat untuk setiap hektar lahan, guna memastikan kedalaman piritnya. Sehingga sewaktu mengolah tanah, pirit tidak teroksidasi, karena dapat meracuni tanaman.
Pada tanah sulfat masam yang telah lanjut, pH meningkat sangat lambat setelah penggenangan bahkan kadang-kadang tidak mencapai 5,5-6,0. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh : (1) lambatnya proses reduksi dan (2) tidak adanya bahan yang akan direduksi seperti misalnya oksida besi feri. Pada kondisi pertama, maka setelah penggenangan tidak akan terjadi perubahan nilai Eh atau pH yang drastis. Pada kasus kedua, nilai Eh akan menurun tanpa meningkatkan pH. Menurut Dent (1986), tanah sulfat masam yang sudah tua mengandung besi dalam bentuk kristal goetit dan hematit yang stabil sehingga sulit tereduksi. Sebaliknya tanah sulfat masam yang masih muda kaya akan koloid besi, sehingga diperkirakan mempunyai kadar besi terlarut yang tinggi setelah penggenangan. Konsten et al., (1990) melaporkan bahwa tanah sulfat masam di Kalimantan ada yang tidak menunjukkan peningkatan pH setelah penggenangan. Hal ini disebabkan tanah tersebut mempunyai kandungan oksida Fe3+ yang rendah dibandingkan kapasitas netralisasi oleh tanah. Reduksi sulfat. Proses reduksi sulfat menjadi sulfida dapat terjadi pada kondisi pH di atas 4 hingga 5, pada pH di bawah itu reaksi terjadi sangat lambat dan bahkan tidak ada. Reduksi sulfat seringkali terjadi pada tanah sulfat masam yang masih muda dan sulfat masam lanjut yang lama tergenang. Reduksi sulfat ini sangat berkaitan dengan adanya hasil dekomposisi bahan organik yang masih baru. H2S yang terbentuk sangat beracun bagi tanaman, pada konsentrasi 0,1 mg l-1 H2S sudah dapat meracuni tanaman padi dalam larutan hara (Mitsui, 1964 dalam van Breemen, 1993). b. Proses Oksidasi Proses utama yang terjadi bila tanah sulfat masam teroksidasi adalah oksidasi pirit. Reaksi oksidasi pirit dengan oksigen pada tanah sulfat masam berlangsung dalam beberapa tahapan, meliputi reaksi-reaksi kimia dan biologis (Dent, 1986). Kecepatan oksidasi pirit oleh Fe3+ sangat dipengaruhi oleh pH, karena Fe3+ hanya larut pada nilai pH di bawah 4 dan Thiobacillus ferrooxidans tidak tumbuh pada pH yang tinggi. Besi oksida dan pirit di dalam tanah mungkin secara fisik berada pada tempat yang berdekatan, namun ada tidaknya reaksi di antara mereka sangat dipengaruhi oleh kelarutan Fe3+.
Kecepatan oksidasi pirit cenderung bertambah dengan menurunnya pH tanah. Pada pH di bawah 4, proses oksidasi terhambat oleh suplai O2. Kecepatan penurunan pH akibat oksidasi pirit tergantung pada : (1) jumlah pirit; (2) kecepatan oksidasi; (3) kecepatan perubahan bahan hasil oksidasi; dan (4) kapasitas netralisasi. C. Hasil Oksidasi Pirit Oksidasi pirit oleh Fe3+ menghasilkan ion (H+) yang kemudian sebagian digunakan lagi untuk mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Hasil akhir dari oksidasi pirit adalah hidroksida Fe3+. Pada pH > 4, oksida dan hidroksida Fe3+ akan mengendap, misalnya dalam bentuk goetit yang lambat laun akan berubah menjadi hematit (Dent, 1986). Jarosit [KFe3(SO4)2(OH)6] merupakan endapan berwarna kuning pucat hasil oksidasi pirit pada kondisi yang sangat masam, yaitu pada Eh diatas 400 mV dan pH kurang dari 3,7. Pada pH di atas 4, jarosit tidak stabil dan mudah berubah menjadi goetit dan terhidrolisa menjadi oksida besi. Hasil pengujian mikroskopi terhadap irisan tipis dan difraksi sinar X menunjukkan bahwa bercak kuning yang merupakan karakteristik tanah sulfat masam didominasi oleh jarosit dan goetit. Bercak merah dan coklat pada sulfat masam adalah goetit yang kadang-kadang berasosiasi dengan jarosit dan hematit (van Breemen, 1976). Sulfat merupakan salah satu hasil oksidasi pirit yang sangat sedikit dijerap oleh profil tanah.
Sebagian besar dari sulfur terlarut hilang bersama air drainase atau berdifusi ke lapisan di bawahnya yang kemudian akan direduksi kembali menjadi sulfida. Ion hidrogen (proton) yang dihasilkan dari oksidasi pirit menyebabkan kondisi tanah yang sangat masam. pH yang sangat rendah menyebabkan penghancuran kisi-kisi mineral liat sehingga silikat dan Al3+ terlepas. Di lapangan, nilai pH tanah sulfat masam berkisar antara 3,2 hingga 3,8 (Dent, 1986). Meningkatnya kandungan silika dan Al3+ terlarut mempengaruhi karakteristik tanah dan air tanah. Aktivitas Al3+ terlarut berkorelasi secara langsung dengan pH, bila pH meningkat maka aluminium akan mengendap sebagai hidroksida atau basic sulfate (van Breemen, 1973). Beberapa unsur mikro seperti Ni dan Co ikut terakumulasi di dalam sedimen karena mensubstitusi Fe dalam pirit atau unsur Cu, Zn, Pb yang menggantikan sulfida (Deer et al., 1965 dalam van Breemen, 1993). Unsur-unsur tersebut akan terlepas kembali saat pirit teroksidasi. Satawathananont (1986 dalam van Breemen, 1993) menunjukkan bahwa konsentrasi unsur Cu, Zn, Mo, Cd, Pb, Ni, dan As terdapat dalam jumlah yang lebih tinggi pada tanah berpirit yang aerasinya baik (pH 2,9) dibandingkan pada tanah sulfat masam yang sudah berkembang (pH 3,9-4,5) dan tanah marin yang tidak masam (pH 4,9) di Bangkok. Selain unsur mikro, masih banyak unsur lain seperti gas SO2, Fe2+, H2S, Al3+ dan asam-asam organik yang dilepaskan sebagai akibat teroksidasinya pirit. Keluarnya unsur-unsur beracun tersebut dari tanah melalui air drainase ke perairan umum dapat menyebabkan polusi dan mengancam kehidupan biota sungai/laut.

1.2. Tujuan Praktikum
Mahasiswa dapat menentukan ada tidaknya pirit pada suatu tanah di lapangan.

III.             BAHAN DAN METODE


3.1 Waktu dan Tempat
            Kegiatan praktikum acara VII ( UJI PIRIT (FeS2) TANAH LAHAN PASANG SURUT DENGAN HIDROGEN PEROKSIDA (H2O2) ) di lakukan dengan pengamatan dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 November  2012 pukul 09.00 wib – selesai. di Laboratorium Analitik, Fakultas Pertanian, Universitas Palangka Raya.

3.2 Bahan dan alat 
            Bahan yang digunakan adalah tanah gambut dan tanah pasang surut dalam kapasitas lapang, H2O2 30%, aquadest sedangkan alat yang digunakan adalah sendok makan, cupu plastik, alat pengukur pH.
           
3.3 Cara kerja
1. Letakkan dalam cupu plastik, tambahkan secara hati – hati 20 ml H2O2 30% (dapat bereaksi keras), biarkan selama kira – kira 15 menit.
2. Aduk menjadi suspensi homogen. Untuk memastikan kesempurnaan reaksi tambahkan lagi 10 ml aquades dan aduk.
3. Ukur pH-nya, kalau memakai pengukur pH, pengukur dilakukan dalam suspensi. Kalau memakai batang celup pengukur pH, pengukur dikerjakan dalam cairan jemih di atas suspensi yang mulai mengendap.
4. Kalau pH merosot hingga kurang dari pH 2,5 maka bahan bersiifat sulfirik potensial atau mengandung pirit banyak.



IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1. Hasil Pengamatan
No
Ulangan
Kekuatan Reaksi
Tanda Lain (buih, bau)
1.
Sampel 1
Kuat sekali
(piritnya kuat)
Berbuih banyak, berasap, berbau
2.
Sampel 2
Lemah
(piritnya lemah)
Tidak berbuih , tidak berasap dan tidak berbau
3.
Sampel 3
Sedang
(pirit sedang)
Sedikit berbuih, sedikit berasap dan sedikit berbau



4.2. Pembahasan
Berdasarkan tabel hasil pengamatan di atas dapat diketahui bahwa pada sampel satu mempunyai kandungan pirit yang sangat kuat ditandai dengan adanya buih, berasap dan berbau ketika dicampur dengan larutan H2O2 30% , pada sampel 2 mempunyai kandungan pirit yang rendah ditandai dengan tidak adanya buih, asap dan bau ketika dicampur dengan larutan H2O2 30%  sedangkan pada sampel 3 mempunyai kandungan pirit yang sedang ditandai dengan adanya buih yang sedikit, asap yang sedikit dan bau yang sedikit.
Pirit merupakan sumber kemasaman pada  lahan gambut pasang surut. Akan tetapi pada saat lahan gambut tersebut dalam keadaan tergenang maka pirit ini akan menjadi tidak aktif atau hanya menjadi tanah dengan memiliki kemasaman potensial maka pH tanah tersebut tidak akan menjadi terlalu masam. Sedangkan jika pada saat lahan gambut sudah tidak tergenang lagi maka pirit tersebut menjadi teroksidasi sehingga pirit akan menjadi sumber kemasaman yang aktif.
Jika pirit belum teroksidasi maka pH tanah tidak akan terlalu rendah, akan tetapi jika pirit telah teroksidasi maka pH tanah akan menjadi sangat rendah. Dan jika tanaman dibudidayakan di atas permukaan lahan gambut yang piritnya telah teroksidasi maka tanaman budidaya tidak akan bisa tumbuh secara optimal. Hal ini dikarenakan pirit bisa sebagai sumber kemasaman yang potensial bagi suatu lahan gambut pasang surut tetapi juga dapat menjadi senyawa beracun jika akar dari tanaman budidaya menyentuh lapisan pirit ini.
Untuk mengatasi permasalah pirit ini sering kali petani melakukan sistem pengelolaan tanah yang TOT ( Tanpa Olah Tanah), sehingga lapisan pirit akan selalu berada dibawah permukaan air tanah dan juga pemberian kapur pertanianyang lumayan banyak untuk mengatasi kemasaman pirit yang telah teroksidasi.




V.                KESIMPULAN


Tanah yang mengandung pirit yang sangat kuat maka tidak dapat dijadikan sebagai lahan budidaya pertanian. Dikarenakan pirit selain menjadi sumber kemasaman tanah yang potensial jika belum mengalami oksidasi tapi keberadaannya tentu sangat merugikan dikarenakan dapat juga berlaku sebagai senyawa beracun yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan tanaman budidaya. Adapun hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi pirit ini adalah dengan menjaga lapisan permukaan air tanah tetap berada di atas lapisan pirit dan sama sekalitidak melakukan pengelolaan tanah agar lapisan pirit tidak terangkat keatas.


















DAFTAR PUSTAKA


Hakim, Nurjati, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung
Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha,
Go Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung
Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta
Pairunan, Anna K., J. L. Nanere, Arifin, Solo S. R. Samosir, Romualdus Tangkaisari, J. R. Lalopua, Bachrul Ibrahim, Hariadji Asmadi, 1999. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Makassar
Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. 2002. Kanisius, Jakarta