I.
PENDAHULUAN
Tanah adalah produk transformasi
mineral dan bahan organik yang terletak dipermukaan sampai kedalaman tertentu
yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetis dan lingkungan, yakni bahan induk,
iklim, organisme hidup (mikro dan makro), topografi, dan waktu yang berjalan
selama kurun waktu yang sangat panjang, yang dapat dibedakan dari cirri-ciri
bahan induk asalnya baik secara fisik kimia, biologi, maupun morfologinya
(Winarso, 2005).
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan
organiknya tinggi. Tanah yang
terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa
Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di
berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor,
muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain.
Sebelum dijadikan lahan pertanian ada berbagai permasalahan yang menjadi
kendala (faktor pembatas) sehingga tanaman tidak akan tumbuh dan berkembang
secara optimal di lahan gambut, yaitu: reaksi tanah, kapasitas tukar kation,
kejenuhan basa dan ketersediaan unsur hara posfor. akan tetapi kendala-kendala
tersebut masih dapat ditanggulangi agar lahan gambut dapat menjadi ideal bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Reaksi
tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan reaksi asam atau
basa dalam tanah. Sejumlah proses dalam tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah dan
biokimia tanah yang berlansung spesifik. Pengaruh lansung terhadap laju
dekomposisi mineral tanah dan bahan organik, pembentukan mineral lempung bahkan
pertumbuhan tanaman. Pengaruh tidak lansungnya terhadap kelarutan dan
ketersediaan hara tanaman. sebagai contoh perubahan konsentrasi fosfat dengan
perubahan pH tanah. Konsentrasi ion H+ yang tinggi bisa meracun bagi tanaman.
Secara teoritis, angka pH berkisar antara 1 sampai 14. Angka satu berarti
kepekatan ion hidrogen di dalam tanah ada 10 ‑ 1 atau 1/10 gmol/l. Tanah pada
kepekatan ini sangat asam. Sementara angka 14 berarti kepekatan ion hidrogennya
10‑14 gmol/l. Tanah pada angka kepekatan ini sangat basa.
Secara umum kemasaman tanah gambut
berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut
meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman.
Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K,
Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang
seringkali sangat kurang (Wong et al, 1986, dalam Mutalib et al,
1991). Kekahatan Cu acapkali terjadi pada tanaman jagung, ketela pohon dan
kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut.
Kapasitas tukar kation
(KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan
tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi
mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik
rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowogeno 2003). Nilai KTK tanah sangat
beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya
KTK tanah dipengaruhi oleh : reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis
mineral liat, bahan organik dan, pengapuran serta pemupukan.
Soepardi (1983) mengemukakan kapasitas
tukar kation tanah sangat beragam, karena jumlah humus dan liat serta macam
liat yang dijumpai dalam tanah berbeda-beda pula.
Tanah gambut memiliki kandungan bahan organik yang sangat tinggi, bahan organik
yang telah melapuk sempurna dan berukuran koloid disebut humus (koloid
organik). Koloid organik (humus) adalah bahan organik yang tidak dapat melapuk
lagi dan ukurannya sangat kecil. Koloid humus seperti
halnya koloid liat juga bermuatan negetif, perbedaan utama dari koloid unsur
dengan koloid anorganik adalah bahwa
humus tersusun dari oleh C, H dan
O sedang liat tersusun dari Al, Si, dan O. Humus bersifat amorft, mempunyai KTK
yang lebih tinggi dari mineral liat, sumber muatan unsur ini diduga berasal
dari gugus karboksil ( - COOH) dan
Fenolik (-- OH).
Tanah gambut
memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90-200 me/100 gr)
namun kejenuhan basa (KB) sangat rendah, hal ini menyebabkan ketersedian hara
terutama K, Ca, dan Mg menjadi sangat rendah. Everret (1983)
mengemukakan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut pada umumnya sangat
tinggi, biasanya lebih dari 100 cmol kg-1 tanah.
Nilai Kejenuhan
Basa (KB) adalah persentase dari total kapasitas tukar kation yang ditempati oleh
kation-kation basa seperti kalsium, magnesium, kalium, dan natrium. Nilai KB
berhubungan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Kemasaman akan menurun
dan kesuburan tanah akan meningkat dengan meningkatnya KB. Laju pelepasan
kation terjerap bagi tanaman bergantung pada tingkat KB suatu tanah. Suatu
tanah dikatakan sangat subur jika KB-nya lebih besar dari 80%, kesuburan sedang
jika KB-nya berkisar antara 50% sampai 80%, dan dikatakan
tidak subur jika KB-nya kurang dari 50% (Tan, 1993).
Kejenuhan basa tanah gambut relatif rendah, yakni 5,4 - 13,6 % sedangkan nisbah
C/N relatif tinggi yakni berkisar antara 24,0 - 33,4 (Suhardjo dan
Widjaja-Adhi, 1976).
II.
PROSPEK
DAN KENDALA PENGEMBANGAN HORTIKULTURA DI LAHAN GAMBUT
Pengembangan hortikultura (sayur dan buah-buahan) di lahan gambut
berkembang dimulai dari upaya masyarakat lokal setempat yang sehari-harinya
hidup di kawasan gambut. Masyarakat setempat di lahan gambut tidak mempunyai
pilihan lain atau terbatas, kecuali berupaya memberdayakan lahan gambut
tersebut sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan
bertanam, beternak, menangkap ikan atau berburu. Secara turun temurun
masyarakat lokal setempat membuka lahan dan menanaminya secara lebih luas
seiring bertambahnya jumlah keluarga. Jenis tanaman pangan yang ditanam antara
lain padi, sagu, ubi, jagung, kedelai dan beragam sayur-mayur; tanaman
keras/kebun antara lain karet, rotan, kelapa, jeruk, nenas, dsb, termasuk
temu-temuan (jahe, kunyit, temulawak dsb).
Lahan gambut dicirikan oleh genangan
karena pengaruh gerakan pasang surut pada rawa pasang surut dan genangan akibat
pengaruh curah hujan dan banjir kiriman dari daerah terestarial
khususnya pada rawa lebak. Oleh karena itu maka pemanfaatan lahan gmabut
untuk pengembangan hortikultura memerlukan penataan lahan dan pengelolaan air.
Penataan lahan dengan model surjan memberikan peluang bagi pengembangan sayuran
di lahan rawa. Bentuk dan ukuran surjan disesuaikan dengan sifat-sifat
tanah fisik lingkungan seperti tipe luapan, tipologi lahan dan tinggi genangan
pada lahan rawa lebak serta kemampuan petani. Pembuatan surjan dapat secara
bertahap, khususnya apabila dimanfaatkan juga untuk tanaman keras atau
perkebunanan sehingga semakin besar tanaman semakin diperlebar surjannya
(Noor et al., 2006). Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan
rapuh (fragile) yang antara lain mempunyai lapisan gambut tebal.
Budidaya hortikuluta di lahan gambut ini tergantung pada pengelolaan air,
tanah dan jenis tanaman hortikulutra yang dibudidayakan. Pada lahan gambut
budidaya hortikulutra umumnya pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D dengan
membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir. Pada lahan gambut
tebal atau gambut rawa lebak sayuran dibudidayakan pada musim kemarau dengan
membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir secara sederhana.
Budidaya sayuran di lahan gambut tebal di Kalimantan Barat (sekitar 2 km dari
Kota Pontianak) dan di Kalimantan Tengah (Kelampangan sekitar 7 km dari Kota
Palangka Raya) cukup berhasil. Kemampuan dan pengetahuan petani dalam budidaya
sayuran di lahan gambut ini cukup baik dan menguntungkan (Lestari et al.,
2006; Alwi et al., 2006). Lahan rawa juga mempunyai lapisan
senyawa pirit (FeS2) dengan berbagai kedalaman. Senyawa pirit ini
apabila terekspose atau teroksidasi maka akan menghasilkan ion sulfat (SO4-2
dan hidrogen (H+) yang mengakibatkan terjadinya pemasaman tanah dan
air (pH 2-3). Pirit stabil dalam kondisi anaaerob atau tergenang. Pada
kondisi masam ini sebagian P dan K terjerap dan tidak tersedia, sebaliknya
ion-ion Al, Fe dan Mn meningkat kelarutannya dalam tanah sehingga meracun
tanaman. Sebaliknya pada kondisi anaerob H2S dan Fe2+
(besi II) meningkat. Pengelolaan air dan perbaikan tanah dalam pemanfaatan
lahan rawa untuk budidaya sayuran merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha
tani di lahan rawa (Alihamsyah, et al., 2003, Noor et al.,
2006).
Tanaman hortikultura umumnya
menghendaki pH 6-7 dan ketersediaan hara N, P, dan K yang cukup. Oleh karena
itu pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya tanaman pertanian, termasuk sayuran
memerlukan bahan amelioran (seperti kapur atau dolomit, fosfat
alam), pupuk organik dan anorganik. Selain itu pada
musim kamarau diperlukan mulsa penutup muka tanah untuk mempertahankan lengas
dan suhu tanah. Lingkungan rawa merupakan lingkungan yang dikenal
mempunyai tingkat virulensi tinggi. Hama, serangga, dan penyakit tanaman cukup
tinggi sehingga memerlukan pengelolaan hama dan penyakit terpadu apalagi
tanaman sayuran sangat rentan diserang oleh organisme pengganggu tanaman.
Pemilihan jenis komoditas dan varietas yang tahan baik terhadap kondisi lahan
maupun sebagai siasat menahan serangan hama dan penyakit tanaman diperlukan
untuk menghindari kegagalan dalam usaha tani di lahan rawa.
Tingkat produktivitas lahan gambut sangat beragam
dipengaruhi oleh ketebalan, kematangan, lapisan substratum dibawahnya, bahan
penyusun, lingkungan pembentukan, dan pengelolaan atau input yang
diberikan yang penting menjadi pertimbangan dalam penentuan kriteria kesesuaian
untuk pembukaan lahan gambut. Secara umum produktivitas gambut
dangkal – menengah (tebal 50-200 cm) lebih tinggi daripada gambut dalam (tebal
> 3 m), gambut matang (saprik-hemik) lebih baik dibandingkan gambut mentah
(fibrik), gambut yang substratum bawahnya liat (marine clay) lebih subur
dibandingkan pasir (kuarsa), gambut seratan lebih subur dibandingkan gambut
kayuan (woodpeat), gambut rawa lebak lebih subur daripada gambut rawa pasang
surut, gambut dataran tinggi (vulkanik) lebih subur daripada dataran rendah,
dan gambut yang ada di Sumatera lebih subur di bandingkan gambut di
Kalimantan. Dengan demikian, maka upaya atau cara peningkatan
produktivitas lahan gambut sangat ditentukan oleh karakteristik atau sifat dan
watak inherence dari lahan gambut yang dikelola. Hal ini juga
menunjukkan pentingnya karakterisasi atau penyidikan awal untuk penentuan input
dan cara pengelolaan yang tepat.
III.
LAHAN
GAMBUT UNTUK PADI SAWAH
Pemanfaatan lahan gambut untuk padi sawah, harus melalui
tahapan-tahapan pembuatan surjan, pemanfaatan lahan gambut dangkal (< 1 m)
untuk budidaya model surjan dengan tanaman pokok padi sawah dapat dikembangkan
diIndonesia. Dalam pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor
ketebalan gambut, Lahan gambut dangkal masih sesuai untuk pengembangan padi
sawah dan juga Lahan gambut sedang, masih memungkinkan juga untuk pengembangan
padi sawah
Rendahnya produktivitas komoditas tanaman pangan dalam skala
usahatani di lahangambut disebabkan petani belum menerapkan teknik budidaya
yang spesifik. Kendalautama yang ditemui pada lahan gambut adalah keadaan
biofisik yang sukar diatasi seperti pH rendah, tingginya konsentrasi asam-asam
organik Aluminiun (Al) dan Besi (Fe) sehingga pertumbuhan tanaman terhambat
akibat keracunan. Untuk melaksanakan
penanaman padi di lahan gambut diperlukan rakitan teknologi budidaya yang
adaptif, efektif, dan mudah diadopsi oleh petani
1) Varietas
Umumnya petani lahan gambut di lapangan masih menanam
varietas lokal atau IR-42. Kelemahan menggunakan varietas lokal adalah
produktivitas rendah dan IR- 42 peka terhadap wereng coklat biotip Sumatera
Utara, wereng hijau dan penyakit blas, kerdil rumput. Beberapa tahun terakhir
telah dilepas beberapa varietas padi lahan gambut, seperti Kapuas, Lematang,
Sei Lilin dan Way Seputih yang dapat ditanam di lahan gambut
2) Pengelolaan air
Rendahnya produksi padi lahan gambut juga dipengaruhi oleh
pengolaan air yang kurang baik, sehingga keadaan biofisik seperti pH rendah,
tingginya konsentrasi asam organik, Al, dan Fe yang dapat meracun tanaman padi.
Sehingga perlu menambah kapur di lahan gambut untuk menurunkan kemasamannya.
3) Pemupukan
Umumnya petani kecil yang melaksanakan budidaya padi lahan
gambut tidak melakukan pemupukan, sehingga pertumbuhan tanaman tidak sempurna
dan hasil rendah. Oleh karena itu perlu melakukan pemupukan di lahan gambut
yang ditanam padi.
4) Perlindungan tanaman
Pada umumnya petani padi lahan gambut di lapangan tidak
melakukan perlindungan tanaman terhadap gangguan hama dan penyakit. Hal ini
disebabkan tidak adanya dana untuk membeli pestisida untuk pengendalian hama
dan penyakit. Disarankan para petani yang menanam padi di lahan gambut
sebaiknya melakukan preventif/pencegahan hama penyakit, tetapi jika tanaman
padi sudah mulai terkena tanda-tanda serangan hama penyakit sebaiknya segera
dilakukan pemberantasan hama penyakit dengan obat-obatan alami atau buatan
anorganik, sehingga padi yang ditanam di lahan gambut memberikan
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Nurjati, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung:
Universitas Lampung
Hakim, N., M.
Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha,
Go
Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung,
Lampung
Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu
Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta
Lestari F, Green AR, Chattopadhyay
G, Hayes AJ. 2006a. An alternative
method for fire smoke toxicity assessment using human lung cells. Fire Safety J 41:605–615
Pairunan,
Anna K., J. L. Nanere, Arifin, Solo S. R. Samosir, Romualdus Tangkaisari, J. R.
Lalopua, Bachrul Ibrahim, Hariadji Asmadi, 1999. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan
Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Makassar
Rosmarkam
dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. 2002. Kanisius, Jakarta
Tan.
1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. 362pp
Widjaja-Adhi, I P.G. 1988.Physical
and chemical characteristic of peat soil of Indonesia.IARD J. 10:59-64.
Winarso.
2005. Pengertian dan Sifak Kimia Tanah.. Yogyakarta; Gajah Mada
University Press.