Sabtu, 15 Juni 2013

pertanian lahan gambut. bram


I.                   PENDAHULUAN

Tanah adalah produk transformasi mineral dan bahan organik yang terletak dipermukaan sampai kedalaman tertentu yang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetis dan lingkungan, yakni bahan induk, iklim, organisme hidup (mikro dan makro), topografi, dan waktu yang berjalan selama kurun waktu yang sangat panjang, yang dapat dibedakan dari cirri-ciri bahan induk asalnya baik secara fisik kimia, biologi, maupun morfologinya (Winarso, 2005).
Gambut adalah jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Tanah yang terutama terbentuk di lahan-lahan basah ini disebut dalam bahasa Inggris sebagai peat; dan lahan-lahan bergambut di berbagai belahan dunia dikenal dengan aneka nama seperti bog, moor, muskeg, pocosin, mire, dan lain-lain.
Sebelum dijadikan lahan pertanian ada berbagai permasalahan yang menjadi kendala (faktor pembatas) sehingga tanaman tidak akan tumbuh dan berkembang secara optimal di lahan gambut, yaitu: reaksi tanah, kapasitas tukar kation, kejenuhan basa dan ketersediaan unsur hara posfor. akan tetapi kendala-kendala tersebut masih dapat ditanggulangi agar lahan gambut dapat menjadi ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Reaksi tanah merupakan suatu istilah yang digunakan untuk menyatakan reaksi asam atau basa dalam tanah. Sejumlah proses dalam tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah dan biokimia tanah yang berlansung spesifik. Pengaruh lansung terhadap laju dekomposisi mineral tanah dan bahan organik, pembentukan mineral lempung bahkan pertumbuhan tanaman. Pengaruh tidak lansungnya terhadap kelarutan dan ketersediaan hara tanaman. sebagai contoh perubahan konsentrasi fosfat dengan perubahan pH tanah. Konsentrasi ion H+ yang tinggi bisa meracun bagi tanaman.
Secara teoritis, angka pH berkisar antara 1 sampai 14. Angka satu berarti kepekatan ion hidrogen di dalam tanah ada 10 ‑ 1 atau 1/10 gmol/l. Tanah pada kepekatan ini sangat asam. Sementara angka 14 berarti kepekatan ion hidrogennya 10‑14 gmol/l. Tanah pada angka kepekatan ini sangat basa.
Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat kurang (Wong et al, 1986, dalam Mutalib et al, 1991). Kekahatan Cu acapkali terjadi pada tanaman jagung, ketela pohon dan kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut.
Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan sifat kimia yang sangat erat hubungannya dengan kesuburan tanah. Tanah-tanah dengan kandungan bahan organik atau kadar liat tinggi mempunyai KTK lebih tinggi daripada tanah-tanah dengan kandungan bahan organik rendah atau tanah-tanah berpasir (Hardjowogeno 2003). Nilai KTK tanah sangat beragam dan tergantung pada sifat dan ciri tanah itu sendiri. Besar kecilnya KTK tanah dipengaruhi oleh : reaksi tanah, tekstur atau jumlah liat, jenis mineral liat, bahan organik dan, pengapuran serta pemupukan.
Soepardi (1983) mengemukakan kapasitas tukar kation tanah sangat beragam, karena jumlah humus dan liat serta macam liat yang dijumpai dalam tanah berbeda-beda pula.
Tanah gambut memiliki kandungan bahan organik yang sangat tinggi, bahan organik yang telah melapuk sempurna dan berukuran koloid disebut humus (koloid organik). Koloid organik (humus) adalah bahan organik yang tidak dapat melapuk lagi dan ukurannya sangat kecil. Koloid humus seperti halnya koloid liat juga bermuatan negetif, perbedaan utama dari koloid unsur dengan koloid anorganik adalah bahwa  humus tersusun dari  oleh C, H dan O sedang liat tersusun dari Al, Si, dan O. Humus bersifat amorft, mempunyai KTK yang lebih tinggi dari mineral liat, sumber muatan unsur ini diduga berasal dari  gugus karboksil ( - COOH) dan Fenolik (-- OH).

Tanah gambut memiliki kapasitas tukar kation (KTK) yang sangat tinggi (90-200 me/100 gr) namun kejenuhan basa (KB) sangat rendah, hal ini menyebabkan ketersedian hara terutama K, Ca, dan Mg menjadi sangat rendah. Everret (1983) mengemukakan bahwa Kapasitas Tukar Kation (KTK) tanah gambut pada umumnya sangat tinggi, biasanya lebih dari 100 cmol kg-1 tanah.
Nilai Kejenuhan Basa (KB) adalah persentase dari total kapasitas tukar kation yang ditempati oleh kation-kation basa seperti kalsium, magnesium, kalium, dan natrium. Nilai KB berhubungan erat dengan pH dan tingkat kesuburan tanah. Kemasaman akan menurun dan kesuburan tanah akan meningkat dengan meningkatnya KB. Laju pelepasan kation terjerap bagi tanaman bergantung pada tingkat KB suatu tanah. Suatu tanah dikatakan sangat subur jika KB-nya lebih besar dari 80%, kesuburan sedang jika KB-nya berkisar antara 50% sampai 80%, dan dikatakan tidak subur jika KB-nya kurang dari 50% (Tan, 1993). Kejenuhan basa tanah gambut relatif rendah, yakni 5,4 - 13,6 % sedangkan nisbah C/N relatif tinggi yakni berkisar antara 24,0 - 33,4 (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).



II.                PROSPEK DAN KENDALA PENGEMBANGAN HORTIKULTURA DI LAHAN GAMBUT

Pengembangan hortikultura (sayur dan buah-buahan) di lahan gambut berkembang dimulai dari upaya masyarakat lokal setempat yang sehari-harinya hidup di kawasan gambut. Masyarakat setempat di lahan gambut tidak mempunyai pilihan lain atau terbatas, kecuali berupaya memberdayakan lahan gambut tersebut sebaik-baiknya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bertanam,  beternak, menangkap ikan atau berburu. Secara turun temurun masyarakat lokal setempat  membuka lahan dan menanaminya secara lebih luas seiring bertambahnya jumlah keluarga. Jenis tanaman pangan yang ditanam antara lain  padi, sagu, ubi, jagung, kedelai dan beragam sayur-mayur; tanaman keras/kebun antara lain karet, rotan, kelapa, jeruk, nenas, dsb, termasuk temu-temuan (jahe, kunyit, temulawak dsb).
Lahan gambut dicirikan oleh genangan karena pengaruh gerakan pasang surut pada rawa pasang surut dan genangan akibat pengaruh curah hujan dan banjir kiriman dari daerah terestarial  khususnya pada rawa lebak.  Oleh karena itu maka pemanfaatan lahan gmabut untuk pengembangan hortikultura memerlukan penataan lahan dan pengelolaan air. Penataan lahan dengan model surjan memberikan peluang bagi pengembangan sayuran di lahan rawa.  Bentuk dan ukuran surjan disesuaikan dengan sifat-sifat tanah fisik lingkungan seperti tipe luapan, tipologi lahan dan tinggi genangan pada lahan rawa lebak serta kemampuan petani. Pembuatan surjan dapat secara bertahap, khususnya apabila dimanfaatkan juga untuk tanaman keras atau perkebunanan sehingga semakin besar tanaman semakin diperlebar surjannya  (Noor et al., 2006). Lahan gambut mempunyai sifat marginal dan rapuh (fragile) yang antara lain mempunyai lapisan gambut tebal.  Budidaya hortikuluta  di lahan gambut ini tergantung pada pengelolaan air, tanah dan jenis tanaman hortikulutra yang dibudidayakan. Pada lahan gambut budidaya hortikulutra umumnya pada lahan rawa pasang surut tipe C dan D dengan membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir.  Pada lahan gambut tebal atau gambut rawa lebak sayuran dibudidayakan pada musim kemarau dengan membuat bedengan dan saluran-saluran kemalir secara sederhana.   Budidaya sayuran di lahan gambut tebal di Kalimantan Barat (sekitar 2 km dari Kota Pontianak) dan di Kalimantan Tengah (Kelampangan sekitar 7 km dari Kota Palangka Raya) cukup berhasil. Kemampuan dan pengetahuan petani dalam budidaya sayuran di lahan gambut ini cukup baik dan menguntungkan (Lestari et al., 2006; Alwi et al., 2006). Lahan rawa juga mempunyai lapisan senyawa pirit (FeS2) dengan berbagai kedalaman. Senyawa pirit ini apabila terekspose atau teroksidasi maka akan menghasilkan ion sulfat (SO4-2 dan hidrogen (H+) yang mengakibatkan terjadinya pemasaman tanah dan air (pH 2-3).  Pirit stabil dalam kondisi anaaerob atau tergenang. Pada kondisi masam ini sebagian P dan K terjerap dan tidak tersedia, sebaliknya ion-ion  Al, Fe dan Mn meningkat kelarutannya dalam tanah sehingga meracun tanaman.  Sebaliknya pada kondisi anaerob H2S dan  Fe2+ (besi II) meningkat. Pengelolaan air dan perbaikan tanah dalam pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya sayuran merupakan salah satu kunci keberhasilan usaha tani di lahan rawa (Alihamsyah, et al., 2003, Noor et al., 2006). 
Tanaman hortikultura umumnya menghendaki pH 6-7 dan ketersediaan hara N, P, dan K yang cukup. Oleh karena itu pemanfaatan lahan rawa untuk budidaya tanaman pertanian, termasuk sayuran memerlukan bahan amelioran (seperti kapur atau dolomit,  fosfat alam),  pupuk organik dan anorganik. Selain itu pada musim kamarau diperlukan mulsa penutup muka tanah untuk mempertahankan lengas dan suhu  tanah.  Lingkungan rawa merupakan lingkungan yang dikenal mempunyai tingkat virulensi tinggi. Hama, serangga, dan penyakit tanaman cukup tinggi sehingga memerlukan pengelolaan hama dan penyakit terpadu apalagi tanaman sayuran sangat rentan diserang oleh organisme pengganggu tanaman.  Pemilihan jenis komoditas dan varietas yang tahan baik terhadap kondisi lahan maupun sebagai siasat menahan serangan hama dan penyakit tanaman diperlukan untuk menghindari kegagalan dalam usaha tani di lahan rawa.
Tingkat produktivitas lahan gambut sangat beragam dipengaruhi oleh ketebalan, kematangan, lapisan substratum dibawahnya, bahan penyusun, lingkungan pembentukan, dan pengelolaan atau input yang diberikan yang penting menjadi pertimbangan dalam penentuan kriteria kesesuaian untuk pembukaan lahan gambut.  Secara umum produktivitas  gambut dangkal – menengah (tebal 50-200 cm) lebih tinggi daripada gambut dalam (tebal > 3 m), gambut matang (saprik-hemik) lebih baik dibandingkan gambut mentah (fibrik), gambut yang substratum bawahnya liat (marine clay) lebih subur dibandingkan pasir (kuarsa), gambut seratan lebih subur dibandingkan gambut kayuan (woodpeat), gambut rawa lebak lebih subur daripada gambut rawa pasang surut, gambut dataran tinggi (vulkanik) lebih subur daripada dataran rendah, dan gambut yang ada di Sumatera lebih subur di bandingkan gambut di Kalimantan.  Dengan demikian, maka upaya atau cara peningkatan produktivitas lahan gambut sangat ditentukan oleh karakteristik atau sifat dan watak inherence dari lahan gambut yang dikelola. Hal ini juga menunjukkan pentingnya karakterisasi atau penyidikan awal untuk penentuan input dan cara pengelolaan yang tepat. 




III.             LAHAN GAMBUT UNTUK PADI SAWAH

Pemanfaatan lahan gambut untuk padi sawah, harus melalui tahapan-tahapan pembuatan surjan, pemanfaatan lahan gambut dangkal (< 1 m) untuk budidaya model surjan dengan tanaman pokok padi sawah dapat dikembangkan diIndonesia. Dalam pemanfaatan lahan gambut, perlu diperhatikan faktor ketebalan gambut, Lahan gambut dangkal masih sesuai untuk pengembangan padi sawah dan juga Lahan gambut sedang, masih memungkinkan juga untuk pengembangan padi sawah
Rendahnya produktivitas komoditas tanaman pangan dalam skala usahatani di lahangambut disebabkan petani belum menerapkan teknik budidaya yang spesifik. Kendalautama yang ditemui pada lahan gambut adalah keadaan biofisik yang sukar diatasi seperti pH rendah, tingginya konsentrasi asam-asam organik Aluminiun (Al) dan Besi (Fe) sehingga pertumbuhan tanaman terhambat akibat keracunan.  Untuk melaksanakan penanaman padi di lahan gambut diperlukan rakitan teknologi budidaya yang adaptif, efektif, dan mudah diadopsi oleh petani
1)      Varietas
Umumnya petani lahan gambut di lapangan masih menanam varietas lokal atau IR-42. Kelemahan menggunakan varietas lokal adalah produktivitas rendah dan IR- 42 peka terhadap wereng coklat biotip Sumatera Utara, wereng hijau dan penyakit blas, kerdil rumput. Beberapa tahun terakhir telah dilepas beberapa varietas padi lahan gambut, seperti Kapuas, Lematang, Sei Lilin dan Way Seputih yang dapat ditanam di lahan gambut
2) Pengelolaan air
Rendahnya produksi padi lahan gambut juga dipengaruhi oleh pengolaan air yang kurang baik, sehingga keadaan biofisik seperti pH rendah, tingginya konsentrasi asam organik, Al, dan Fe yang dapat meracun tanaman padi. Sehingga perlu menambah kapur di lahan gambut untuk menurunkan kemasamannya.

3) Pemupukan
Umumnya petani kecil yang melaksanakan budidaya padi lahan gambut tidak melakukan pemupukan, sehingga pertumbuhan tanaman tidak sempurna dan hasil rendah. Oleh karena itu perlu melakukan pemupukan di lahan gambut yang ditanam padi.

4) Perlindungan tanaman
Pada umumnya petani padi lahan gambut di lapangan tidak melakukan perlindungan tanaman terhadap gangguan hama dan penyakit. Hal ini disebabkan tidak adanya dana untuk membeli pestisida untuk pengendalian hama dan penyakit. Disarankan para petani yang menanam padi di lahan gambut sebaiknya melakukan preventif/pencegahan hama penyakit, tetapi jika tanaman padi sudah mulai terkena tanda-tanda serangan hama penyakit sebaiknya segera dilakukan pemberantasan hama penyakit dengan obat-obatan alami atau buatan anorganik, sehingga padi yang ditanam di lahan gambut memberikan




DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Nurjati, dkk. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung
Hakim, N., M. Yusuf Nyakpa, A. M. Lubis, Sutopo Ghani Nugroho, M. Amin Diha,
Go Ban Hong, H. H. Bailey, 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung, Lampung
Hardjowigeno, H. Sarwono., 2002. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta
Lestari F, Green AR, Chattopadhyay G, Hayes AJ. 2006a. An alternative  method for fire smoke toxicity assessment using human lung cells.  Fire Safety J 41:605–615
Pairunan, Anna K., J. L. Nanere, Arifin, Solo S. R. Samosir, Romualdus Tangkaisari, J. R. Lalopua, Bachrul Ibrahim, Hariadji Asmadi, 1999. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur, Makassar
Rosmarkam dan Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. 2002. Kanisius, Jakarta
Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Marcel Dekker, Inc. New York. 362pp
Widjaja-Adhi, I P.G. 1988.Physical and chemical characteristic of peat soil of  Indonesia.IARD J. 10:59-64.
Winarso. 2005. Pengertian dan Sifak Kimia Tanah.. Yogyakarta; Gajah Mada University Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar